BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan
pesatnya penemuan-penenemuan teknologi modern, mengakibatkan terjadinya
perubahan-perubahan yang sangat cepat dalam peradaban manusia, hal itu
bertujuan untuk kemanfaatan kehidupan dan kepentingan umat manusia dengan
segala konsekuensinya. Salah satu kemajuan ilmu didalam peradaban manusia yaitu
kemajuan ilmu kedokteran. Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan
keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan, pengurangan,
penderitaan pasien, bahkan perhitungan saat kematian seorang pasien yang
mengalami penyakit tertentu dapat dilakukan secara cepat, tetapi kemajuan di
bidang ilmu kedokteran tidak mustahil akan mengundang permasalahan yang pelik
dan rumit, misalnya apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan
untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang
boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? apabila segala
upaya yang dilakukan akan sia-sia atau bahkan dapat dituduhkan suatu
kebohongan, karena disamping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan
terseret dalam pengurasan dana yang banyak atau bahkan lebih berbahaya jika
dibiarkan karena penyakit yang diderita adalah penyakit yang menular penyakit
Seperti AIDS.
Salah
satu yang masalah penting yang terpengaruh kemajuan teknologi adalah praktek
euthanasia. Euthanasia yang secara sederhana membantu seseorang untuk mati agar
terbebas dari penderitaan yang sangat, dan juga praktek euthanasia menggunaakan
peralatan kedokteran terhadap pasien yang menderita penyakit yang tidak dapat
di sembuhkan, tindakan eutahasia ini dilakukan atas permintaan pasien itu
sendiri atau keluarganya.tetapi
Terdapat
kerancuan pendapat umum tentang EUTHANASIA apakah dihalalkan atau diharamkan
dan alasan yang diberikan ketika ada
pasien yang akan diberi tindakan EUTHANASIA serta bagaimana Euthanasia menurut
hukum pidana di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Dari perumusan diatas, akan menimbulkan permasalah .Permasalahan yang
akan dikaji penulis yaitu dengan membandingkan kasus euthanasia yang terjadi
ditinjau dari sudut pandang hukum pidana Indonesia (KUHP) dan hukum Islam, dan
Kesehatan.
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami tentang pengertian euthanasia
2. Memahami tentang macam euthanasia
3. Memahami bagaimana pandangan agama,
etik dan kesehatan
D. Manfaat Penelitian
Kita
dapat mengetahui euthanasia dipandang dari segi agama,etik, dan segi kesehatan
E. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah
melakukan penelitian menganalisa kasus yang telah dibuat dari berbagai cara
dalam pengambilan dari buku dan pengalaman dan berbagai macam sumber-sumber
buku, juga dari pengetahuan yang dimiliki.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Euthanasia
Euthanasia
secara bahasa berasal dari bahasa Yunani “eu” yang berarti “baik”, dan
“thanatos”, yang berarti “kematian” . Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah
qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia
berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang
akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada
dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.
B. Macam-macam Euthanasia
Dalam
praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian
pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan
diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah
sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin
lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter
adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan
pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah.
Contoh
euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa
sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini,
dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya
obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa
sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
Adapun euthanasia pasif, adalah
tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang
secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan
ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter
adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang
dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut
perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
Terdapat
tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter
menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih
mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan
pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang
sangat tinggi.
Contoh
euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang
sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan
untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika
tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika
pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.
Menurut
Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan.
Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua
kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut
membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan
nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri.
Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di
negara mana pun.
C. Pandangan Islam Terhadap Euthanasia
Syariah
Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di
segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia.
A. Euthanasia Aktif
Syariah
Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan
sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan
penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan
pasien
sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil
dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh
diri
sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar.” (QS Al-An’aam : 151)
“Dan
tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah
bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu
termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang
merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif,
misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan
dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam
(Khilafah), sesuai firman Allah :
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh
(waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak
dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat
(tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Firman
Allah SWT :
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula).”
(QS
Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja
adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting,
berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar
dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah
1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000
dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak).
Tidak
dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan
melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya.
Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada
aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan
mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan
manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu
pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang
muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun
penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan
atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
B.
Euthanasia Pasif
Adapun
hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan
pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa
pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan
sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien,
misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban
untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat
(at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau
makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama,
mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun
sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah
dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut
Abdul Qadim Zallum hukum berobat adalah mandub, Tidak wajib. Hal ini
berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya
untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan
itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas
(sunnah).
Di
antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya
Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits
di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu
Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li
ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar
menunjukkan adanya tuntutan.”
Jadi,
hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu
tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan,
qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di
atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di
antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan
hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena
penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah
kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu
bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah
agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,”
lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku
kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi
SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari).
Hadits
di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan
hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini
menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah,
bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah
(mandub),bukanwajib.
Dengan demikian, jelaslah
pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang
alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah,
apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritiskeadaannya?
Abdul Qadim Zallum mengatakan bahwa
jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya,
maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat
bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu
tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan
wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi
kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih
bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien,
karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah
sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu,
hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut
alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh
(jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut
dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat
dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu.
Namun
untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien,
walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan
mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib
diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri).
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Eeutanasia
adalah tindakan memudahkan kematian si sakit dengan sengaja tanpa merasakan sakit
kare na kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik
dengan cara positif maupun negatif. Berdasarkan definisi di atas maka dapat
kita ketahui bahwasanya eutanasia itu terbagi menjadi dua, eutanasia positif
(aktif) dan negatif (pasif). Eutanasia aktif sama saja dengan mendahului
kehendak Tuhan dan hukumnya adalah tidak boleh karena hukunya sama dengan pembunuhan, sedangkan pembunuhan
adalah hal yang diharamkan dalam agama Islam. Eutanasia pasif hukumnya adalah
jaiz atau boleh saja asal ada izin dari pihak keluarga dan si sakit sudah tidak
ada kemungkinan lagi untuk sembuh serta obat-obatan yang diberikan kepadanya
menurut pandangan medis tidak dapat bereaksi lagi terhadap si sakit.
Daftar Pustaka
Al-Maliki,
Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.
An-Nabhani,
Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds. Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
Audah,
Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami.
Utomo,
Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
M
Ali Hasan, MasailFiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum
Islam,
( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995 )
hlm. 145
Setiawan
Budi Utomo, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer Hukum Islam,
( Jakarta: Gema Insani Press, 2003 ) hlm. 178
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, ( Jakarta: PT.
Toko Gunung Agung, 1994 )hlm. 163-164
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer jilid
II, ( Jakarta : Gema Insani, 1995 ), hlm 749
Tidak ada komentar:
Posting Komentar